KUPANG,NTT Online - Penanggung jawab Yayasan Sanggar Belajar Anak Bangsa (Saban) Propinsi NTT, yang juga penyelenggara Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Sry Paah mengatakan, program PLS yang tengah berkembang di Kota Kupang khususnya dan NTT pada umumnya, sangat membantu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin, seperti pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Dengan demikian maka NTT dapat dijadikan sebagai contoh bagi daerah-daerah lain mengingat NTT telah berhasil dalam program PLS.
Menurut Sry, selain memberikan kesempatan bagi keluarga yang kurang mampu dalam membiayai sekolah anak-anaknya, para warga belajar yang tengah mengikuti PLS dapat mengisi waktu luangnya membantu orang tuanya bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sebab Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada program PLS dalam seminggu hanya 3 kali pertemuan, lain halnya dengan sekolah-sekolah formal.
Program PLS yang dijalankan oleh Dinas Pendidikan Nasional NTT, justru sangat menyentuh kebutuhan dasar dari masyarakat Kota Kupang. Karena pendidikan formal saat ini, dengan sekian banyaknya bidang studi yang dibebani dan dengan sekian banyak permasalahan yang dihadapi terutama ekonomi yang sangat rentan belakangan ini. Dengan hadirnya PLS sangat membantu bagi mereka yang memang wajib untuk mengenyam bangku pendidikan maupun mereka yang kurang beruntung.
“Menurut saya PLS sangat berhasil di Kota Kupang, karena kehadirannya dapat membantu sekian banyak orang dalam hal ini, keluarga yang ekonominya sulit atau kurang mampu untuk menikmati pendidikan setara dengan pendidikan formal, dalam arti kelulusan dari PLS mutunya pun tidak perlu diragukan lagi,” ungkap Sry.
Sry mengungkapkan, walaupun dalam perjalanannya banyak berkembang stigma-stigma miring terhadap PLS, terlebih lagi ungkapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang mengatakan bahwa Program PLS hanya merupakan program pembodohan kepada masyarakat.
Selaku penyelenggara PLS dirinya mengatakan bahwa, pernyataan tersebut sangat salah besar dan tidak tepat sasaran. Karena PLS itu diterapkan sesuai dengan metode yang sama pada sekolah-sekolah formal meskipun lebih ringkas, tetapi target yang ingin dicapai dalam setiap subyek pembelajaran itu sendiri dicapai dalam PLS dan kurikulumnya juga sama.
“Itu merupakan sebuah pernyataan yang memang sangat amat membodohi masyarakat dan salah besar kalau demikian, yang dipelajari dalam PLS itu kan metodenya sama dengan sekolah-sekolah formal dan target yang ingin dicapai dalam PLS selalu tercapai. Kita bisa kok mengetes anak-anak lulusan PLS dan sekolah formal,” ungkap Sry.
Dikatakan dirinya, siapapun orangnya yang mengeluarkan pernyataan seperti itu, hanyalah orang yang benci dan tidak tahu menahu tentang PLS. Sebab andaikata itu merupakan sebuah temuan ketika melaksanakan tugas pada masa reses, namun langkah yang telah diambil sama sekali tidak memperlihatkan sosok seorang wakil rakyat yang memang peduli terhadap hak-hak rakyat kecil, yang menginginkan terbebas dari belenggu kebodohan.
“Sebetulnya pernyataan yang dikeluarkan seorang anggota DPR-RI itulah yang menyatakan bahwa program PLS ini hanya membodohi rakyat, bukannya PLS. Tidak bisa dong hanya berdasarkan satu temuan didaerah lain lalu PLS disama ratakan, kata-kata itulah yang seharusnya dicermati dan dipahami oleh masyarakat NTT. Sebab secara tidak langsung telah menyinggung perasaan banyak orang dan banyak pihak,” katanya dengan nada tinggi.
Hal ini mungkin saja merupakan sebuah skenario dari segelintir orang yang tidak menginginkan masyarakat NTT pada umumnya terbebas dari belenggu kebodohan, sebab ketika sebuah bangsa atau masyarakat yang ada dalam satu wilayah itu telah terbebas dari keterbelakangan maka akan semakin sulit untuk diperalat atau diperbudak.
Selain itu melihat perkembangan PLS di Kota Kupang dan antusiasme para orang tua dari warga belajar yang mengikuti PLS dan para warga belajar itu sendiri sangatlah besar.
Namun animo masyarakat terkait hal ini sering dibelokkan dengan stigma miring dari pernyataan-pernyataan seperti itu, belum lagi isu-isu yang berkembang yang menyatakan bahwa kelulusan dari PLS sering tidak diterima oleh sekolah formal atau di Universitas Negeri maupun swasta. Akan tetapi dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini telah dibuktikan bahwa lulusan dari PLS dalam hal ini paket A B dan C, sekolah formal bahkan di Universitas Negeri maupun swasta. Ada baiknya berbicara persoalan yang dipahami scara baik sehingga dalam konteks apapun setiap pembicaraan dan setiap hal yang disosialisasikan kepada masyarakat itu seharusnya sudah dipelajari secara baik dan sudah diteliti dilapangan keadaannya seperti apa.
“Jangan karena menemukan satu dua kesalahan maka kemudian kita katakan bahwa semua salah. Seharusnya dalam survei saja pun ketika kita mengatakan bahwa itu seratus persen berhasil margin eror masih bisa kita pakai untuk 0,9. Jadi indikator-indikator itu yang harus kita pakai baru kita mengatakan bahwa ini gagal atau berhasil,” tegas Sry. Dia berpendapat, siapapun yang mengatakan bahwa PLS gagal di kota kupang dan NTT umumnya seharusnya mempelajari secara baik, memahami betul substansinya dan mempelajari persoalan dan kemudian dikaji secara lebih baik. Sehingga bisa melakukan diskusi dengan pihak-pihak terkait dan berdasarkan analisis itu bisa dipertanggung jawabkan,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa jika dalam persoalan ini ada unsur suka atau tidak suka menurutnya hal itu sangat manusiawi sekali namun jangan masyarakat yang dikorbankan terkait pernyataan itu. Keberhasilan seseorang dalam hal ini subdin PLS NTT yang dipimpin Ir. Marten Dira Tome, kemudian dianggap tidak berhasil karena pendapat satu dua orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan. “Saya pikir masyarakat sudah cukup cerdas, termasuk saya melihat ada apa dibalik ini sehingga perlu membantai seseorang yang ternyata berhasil dan kinerjanya baik,” ujar Sry.
Dilain pihak masih berkaitan dengan PLS beberapa warga belajar dari yayasan Saban yaitu, Indri S Thome dari paket B 1, Marten L Mesakh, Semdius G Missa dan Margaritha Wadu dari Paket C juga angkat bicara tentang pentingya kehadiran PLS di Kota Kupang.
Menurut Indri Thome dan Marten Mesakh, PLS sangat membantu mereka dalam mengenyam bangku pendidikan, karena keterbatasan penghasilan dari orang tuanya yang notabene adalah seorang tukang bangunan itu keduanya putus bangku sekolah dikelas 2 SMP. Kehadiran PLS selain sangat membantu mereka dalam melanjutkan bangku pendidikan, dilain kesempatan keduanya dapat bekerja sambilan untuk membantu orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-harinya.
Sedangkan menurut Semdius G Missa dan Margaritha Wadu yang saat ini sedang mengikuti Paket C mengungkapkan bahwa, tidak semua manusia yang hidup di dunia ini sempurna. “Sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tentunya kita saling membutuhkan antara satu dan lainnya, perbedaan prinsip adalah hal yang wajar namun terkadang perbedaan prinsip itu dapat membawa malapetaka bagi dirinya sendiri dan orang lain,” jelasnya. Keduanya berpendapat bahwa PLS hadir bukan untuk membodohi masyarakat akibat dari ketidak pahaman pengelola yayasan itu, akan tetapi hanya orang-orang bodoh yang menggunakan kesempatan atau peluang tertentu untuk menghancurkan PLS karena merasa tersaingi.
Saat ini baik pemerintah pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional dan pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan NTT dalam hal ini Sub Dinas PLS yang dinahkodai oleh Marten Dira Tome tengah berupaya keras untuk menuntaskan buta aksara di NTT pada tahun 2008 ini.
Namun hal itu menurut Sry, tidak akan terlaksana dengan baik sesuai dengan yang diharapkan apabila seluruh komponen masyarakat tidak langsung ikut terlibat didalamnya dan mendukung program itu serta berpikir positif tentang hasil dari program ini.
“Saya sangat pesimis bahwa program ini dapat berjalan dengan mulus, tetapi apapun hal yang akan dilakukan sangat tergantung kerja keras kita semua,bukan hanya pemerintah,” jelasnya.
Sry Paah menyampaikan, ini tidak lagi disubsidi penuh oleh pemerintah, padahal dalam faktanya paket C ini sangat dibutuhkan masyarakat yang notabene sudah cukup umur.
Untuk itu dirinya mengharapkan agar pemerintah seharusnya juga mensubsidi penuh paket C sesuai dengan paket A dan B. Akan tetapi itu tentu harus juga disesuaikan dengan kinerja para pengelola dan tutor PLS itu sendiri. Tentunya hubungan kerjasama yang baik antara subdin PLS kota kupang dan Subdin PLS NTT harus selalu dibina antara satu dan lainnya. Sebab ketika kerjasama itu terbina dengan baik maka semua kendala dapat diselesaikan, selain itu jika berbicara tentang PLS maka sama halnya dengan berbicara tentang masyarakat dan yang menyelenggarakan program tersebut baik pemerintah dan penyelenggara sehingga sinergis antara dua bagian ini dalam menunjang program ini.Dengan demikian maka kebutuhan dasar dari masyarakat dapat terpenuhi dari dua bagian tersebut.
Sry Paah menambahkan, untuk kedepannya dirinya sangat optimis NTT dapat menjadi sebuah propinsi yang memang layak dan pantas untuk dijadikan sebagai contoh perkembangan PLS bagi daerah-daerah lain. Sebab pada 10 tahun lalu PLS sama sekali tidak dilirik namun dalam tempo 10 tahun kedepan PLS itu mempunyai nilai jual yang cukup tinggi.
Merubah stigma miring bukanlah sebuah pekerjaan yang membutuhkan waktu singkat dan memperbaiki kinerjapun demikian. Keduanya membutuhkan pengorbanan waktu yang panjang dan membutuhkan orang yang mempunyai kepedulian, perhatian yang besar dan mempunyai unsur pengabdian.
SUMBER
1 comments:
Seharusnya kita dukung, kegiatan2 yang membantu dan berguna bagi masyarakat
Posting Komentar
Sering sering tulis komentar anda !!! akan sangat membantu bagi kemajuan TANPATINTA
Gunakan Nama/URL masukan nama dan URL anda