2008-03-18

Menjembatani Sekolah Alternatif dengan Formal

Oleh: P BAMBANG WISUDO

Kokon Koswara (23), mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Garut, Jawa Barat, dalam beberapa bulan terakhir lebih sering mengisi masa akhir pekannya dengan naik turun gunung. Kegiatan itu harus dijalaninya sejak ia bersama sejumlah kawannya membantu warga kampung Dano menyelenggarakan sekolah alternatif Bale Rahayat.

Jarak delapan kilometer dari ibu kota Kecamatan Leles dengan kampung Dano ditempuh sepeda motor. Karena keuangan terbatas, Kokon dan kawan-kawannya tidak memilih menggunakan jasa ojek. Ongkos ojek ke kampung itu Rp 15.000 sekali jalan. Untuk menekan biaya, Kokon memilih menyewa motor dengan ongkos Rp 20.000 sehari. Biasanya motor itu ditumpangi bertiga, tidak peduli jalan terjal bebatuan yang harus dihadapinya.

”Karena masalah ongkos kami tidak bisa intensif mendampingi masyarakat Dano,” tutur Kokon.

Aktivitas Kokon dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Jaringan Pendidikan Kritis Garut itu didasari keprihatinan atas minimnya akses pendidikan anak-anak petani di wilayah itu. Dari delapan ribu penduduk di dusun itu, hanya segelintir saja yang tamat SD dan SMP. Selepas kelas dua, empat SD negeri di sekitar dusun itu kehilangan murid.

Sebagian besar putus di tengah jalan dalam keadaan tidak bisa membaca dan menulis. Anak laki-laki di bawah umur yang belum bisa baca tulis itu sebagian besar di bawa ke kota dipekerjakan, menjadi pembantu buruh konveksi tas kulit, dengan upah yang sangat rendah.

Baru beberapa bulan berjalan, kini Bale Rahayat harus menampung sekitar 150 murid. Dengan fasilitas seadanya, mereka belajar di emperan masjid dusun, rutin diajar oleh tiga tokoh masyarakat yang menjadi sukarelawan. Sejauh ini tidak ada sedikit pun dukungan dari pemerintah lokal. Andaikata mereka juga berhak atas dana kompensasi BBM sebesar rata-rata Rp 20.000 per bulan, hampir bisa dijamin anak-anak itu lebih pintar dibandingkan anak-anak yang memilih bersekolah di sekolah formal.
Korban diskriminasi

Anak-anak dari masyarakat kalangan bawah yang terempas dari jalur pendidikan formal memang menjadi korban diskriminasi kebijakan pendidikan nasional. Orang-orang miskin yang seharusnya dibela, justru dimarginalkan dalam proses pendidikan. Jangankan mereka yang memilih jalur sekolah alternatif. Anak-anak putus sekolah yang ditampung di PKBM yang disokong pemerintah pun diberi anggaran sisa. Upah gurunya hanya Rp 150.000 per bulan. Di lapangan honor sebesar itu dibagi lagi untuk beberapa tutor.

Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso menceritakan, ia pernah menjumpai tutor yang diberi honorarium Rp 20.000 per bulan.

Di Jakarta, seorang siswa SD dari kelompok masyarakat miskin, mendapatkan subsidi dari pemerintah daerah dan pusat sebesar Rp 40.000 per anak. Bahkan subsidi dari Pemda DKI bagi siswa SD tahun depan diusulkan naik dua kali lipat menjadi Rp 500.000 per bulan.

Untuk anak-anak putus sekolah, Pemda DKI menyelenggarakan program retrieval dengan anggaran Rp 1 juta per anak per tahun. Dana itu tentu menjadi sebuah kemewahan bagi anak-anak dari masyarakat bawah yang bergabung di sanggar-sanggar pendidikan alternatif, seperti Sanggar Akar, Sanggar Ciliwung, atau Sanggar Anak Alam di Lebakbulus.

Kenyataannya dana itu dibekap oleh sekolah-sekolah formal yang ketat dikendalikan oleh pemerintah. Hasilnya adalah anak-anak miskin tetap saja tidak bisa bersekolah.

Anggaran dan substansi

Kesenjangan antara sekolah alternatif dengan sekolah formal tidak hanya persoalan anggaran tetapi juga substansi pendidikan yang ditawarkan. Sekolah-sekolah alternatif yang berkembang dalam semangat Paulo Freirean, yang mengintegrasikan semangat perlawanan terhadap sistem yang memiskinkan dalam pendidikan.

Sejumlah aktivitas pendidikan alternatif memiliki keyakinan bahwa tujuan akhir pendidikan alternatif bukan sekadar mengeluarkan anak dari kemiskinan yang membelenggu lingkungan dan keluarga mereka. Apalagi bila itu sekadar diartikan memberikan keterampilan agar mereka bisa berintegrasi dalam sistem yang kapitalistik.

Semangat perlawanan itu dapat dibaca dari kemunculan sekolah-sekolah alternatif di berbagai daerah. Sebutlah Madrasah Aliyah Bingkat di Sumatera Utara, Sekolah Anak Rima ”Sokola” di Jambi, Sanggar Akar dan Sanggar Ciliwung di Jakarta. Madrasah Tsanawiyah As Sururon dan Bale Rahayat di Garut, SMP Qaryah Thayibbah di Salatiga, Sanggar Anak Alam dan SD Mangunan di Yogyakarta, dan masih banyak lagi.

Ada dua model besar penyelenggaraan sekolah alternatif itu. Ada yang berkompromi dengan sistem pendidikan formal tetapi ada yang tidak mau berkompromi. Model pertama biasanya mengambil bentuk sekolah formal meski dengan sejumlah penyiasatan, menganggap penting nilai ijazah, dan mengukur mutu berdasarkan standar nilai rata-rata.

Pengamat pendidikan Dr Mochtar Buchori memberikan ilustrasi kedua model itu dengan membandingkan antara pendidikan alternatif Sanggar Akar dan SMP Alternatif Qaryah Thayibbah. Menurut Mochtar, Sanggar Akar lebih merupakan perjuangan sosio-kultural, yang dipentingkan adalah bagaimana anak menemukan arti dalam kehidupannya. Karena itu soal ujian dan ijazah dianggap remeh. Sedangkan sekolah model Qaryah Thayibbah lebih dilatarbelakangi perjuangan sosial-ekonomis, bagaimana memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anak petani di desa.

Dalam model pendidikan pertama, anak-anak bisa menjadi kekuatan subversif dalam masyarakat tertentu. ”Tergantung tujuannya, apakah pendidikan mau menormalkan atau mau melawan. Memberikan kemampuan belajar menjadi penting untuk memberikan kesempatan anak-anak marginal menumbuhkan jiwa kewiraswastaannya,” kata Mochtar.

Koordinator Sanggar Akar Ibe Karyanto mengatakan bahwa pendidikan alternatif untuk kaum miskin memang merupakan kritik radikal terhadap pendidikan formal. Paradigma yang dianut adalah paradigma pembebasan. Karena itu harus ada penyadaran kritis pada diri anak bahwa kemiskinan yang mereka alami bukan merupakan kenyataan yang terjadi begitu saja tetapi merupakan akibat dari proses pemiskinan.

”Bukan mengajak anak membangun konfrontasi tetapi justru mengajak anak secara visioner melihat sistem apa yang harus dibangun,” kata Ibe.

Dalam semangat perlawanan itu mungkinkah pendidikan alternatif berkolaborasi dengan pemerintah? Mengapa tidak? Menurut Eko Djatmiko, tidak ada masalah sekolah alternatif bekerja sama dengan pemerintah meskipun mereka mengembangkan semangat perlawanan. Demi pencerdasan bangsa, perbedaan-perbedaan antara formal dan nonformal, antara masyarakat dan negara, mesti disinergikan.

Semangat perlawanan, kata Lodi Paat, Pengajar Pengantar Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, yang selama ini terjadi juga bukan monopoli pendidikan nonformal atau sekolah alternatif.

”Perlawanan seharusnya tidak hanya dilakukan sekolah-sekolah alternatif tetapi juga sekolah-sekolah formal. Dalam situasi sekarang, tanpa perlawanan, kita akan dirampok habis-habisan,” kata Lodi.

Yahoo! for Good
Click here to donate to the Hurricane Katrina relief effort.

** Menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi SAAT INI di dalam diri saya maupun di luar diri saya **

** Kami kembali tuk hidup dalam kekinian yang menakjubkan; tuk menanami taman hati kami benih-benih kebajikan; serta membuat fondasi pengertian dan cinta kasih yang kokoh **

** Kami mengikuti jalur perhatian penuh, latihan tuk melihat dan memahami secara mendalam agar mampu melihat hakikat segala sesuatu, sehingga terbebas dari belenggu kelahiran dan kematian **

** Kami belajar tuk: berbicara dengan penuh cinta kasih, menjadi penuh welas asih, menjadi perhatian terhadap pihak-pihak lain pagi ataupun sore hari, membawa akar-akar suka cita ke banyak tempat, membantu sesama melepaskan kesedihan; dan tuk menanggapi dengan penuh rasa syukur kebajikan orang tua, para guru, serta sahabat-sahabat kami SUMBER
Kirim Pesan ya

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Sering sering tulis komentar anda !!! akan sangat membantu bagi kemajuan TANPATINTA
Gunakan Nama/URL masukan nama dan URL anda